May day, catatan kritis dan refleksi hari buruh 2025 dalam perspektif HWY aktivis HMI Cabang Palembang


PALEMBANG,Infodesanasional.id - Hikmi Wahyudi - “may day bukan hanya urusan perayaan dan serimonial, buruh bukan hanya soal orang yang bekerja, tapi jiwa yang menanti keadilan dan suara yang menagih janji tahun demi tahun, dari satu mimpi ke mimpi yang lain.”

Hari ini, tepat 1 Mei 2025, kita memperingati Hari Buruh. Tapi lebih dari sekadar seremonial, ini adalah hari untuk mendengar suara-suara yang selama ini tenggelam, suara buruh yang terluka, terabaikan, dan dilupakan.

Dari pabrik ke tambang, dari ruang kelas ke pabrik garmen, mereka bekerja dalam senyap, menjaga ekonomi tetap bergerak. Namun, sering kali hak mereka tak terpenuhi, suara mereka diredam, dan keberadaan mereka dianggap biasa.

Kita tidak bisa menutup mata atas kisah pilu mereka yang tak menerima upah layak, yang tak punya jaminan kerja, yang terluka tanpa perlindungan, yang bekerja tapi tetap lapar.

Sejarah May Day sebagai hari buruh ini lahir dari sebuah federasi internasional, sebuah kelompok sosialis dan serikat buruh menetapkan yang 1 Mei sebagai hari untuk mendukung para pekerja, dalam rangka memperingati Kerusuhan Haymarket di Chicago pada tahun 1886. Pada abad ke-20, hari libur 1 Mei tersebut mendapat pengesahan resmi dari Uni Soviet, dan juga dirayakan sebagai Hari Solidaritas Buruh Internasional, terutama di beberapa negara Komunis.

Sejarah Hari Buruh di Indonesia bermula saat negara ini masih berada di bawah kekuasaan Belanda, dan kondisi kerja para pekerja di sektor perkebunan dan industri sangatlah buruk.

Selama dijajah oleh Belanda, para pekerja dan serikat buruh sering mengalami eksploitasi dan penindasan oleh majikan Belanda.

Kondisi kerja yang tidak sangat manusiawi, upah rendah, dan tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, membuat para pekerja dan serikat buruh merasa perlu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Peringatan hari buruh sempat berhenti diperingati secara terbuka saat kepemimpinan Presiden Soeharto karena dinilai identik dengan paham komunis.

Letupan protes dari kaum buruh masih ada selama Orde Baru, namun tidak masif. Protesnya yang digaungkan seputar upah layak, cuti haid, dan upah lembur.z

Kemudian pada masa reformasi, hari buruh kembali rutin dirayakan di banyak kota, dan mengusung berbagai tuntutan mulai dari kesejahteraan hingga penghapusan sistem alih daya. BJ Habibie sebagai presiden pertama di reformasi melakukan ratifikasi konvensi ILO Nomor 81 tentang kebebasan berserikat buruh.

Pada 1 Mei 2013, terjadi peristiwa sejarah hari buruh yang penting di Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional.

Dari tahun ke tahun, 1 Mei selalu menjadi ajang buruh untuk menuntut hak-haknya, mulai dari upah yang pembayarannya tertunda, jam kerja dan upah yang layak, hak cuti hamil, hak cuti haid, hingga Tunjangan Hari Raya (THR) yang bisa kita nikmati hingga saat ini.

di tahun 2025 may day tetap dilaksanakan seperti biasa di kota kota besar tak lepas jakarta, Hikmi wahyudi aktivis HMI Kota palembang juga menyoroti kehadiran presiden republik indonesia yang membawa beberapa janji-janji masa kampanye, janji transisi kekuasaan, janji perubahan nasib kaum buruh. Enam tuntutan utama sudah disiapkan: penghapusan outsourcing, pembentukan Satgas PHK, upah layak, pengesahan RUU Ketenagakerjaan, RUU PPRT, hingga RUU Perampasan Aset. Ini bukan daftar keinginan utopis. Ini adalah catatan luka lama yang terus menunggu penyembuhan sistemik.

ironi yang tak kunjung selesai: setiap tahun, buruh turun ke jalan, tapi jarang ada yang benar-benar naik ke atas untuk mendengar. ini bukan lg persoalan apa tuntutannya tetapi siapa yang sungguh mau mendengarnya Dalam kerumunan ribuan wajah lelah namun berharap itu, kita bisa melihat cermin bangsa: berisik saat kampanye, senyap saat rakyat menagih bukti.

Pemerintah harus melihat ini sebagai bagian dari hak dasar pekerja. Solusinya bukan hanya pembangunan infrastruktur, tapi juga regulasi waktu kerja yang adil, sistem kerja hibrida untuk sektor tertentu, serta integrasi kawasan industri dengan hunian terjangkau dan transportasi massal layak.

Aktivis HMI Kota Palembang Hikmi Wahyudi berharap May Day bukan panggung seremonial. Ini panggung luka, harap, dan uji janji. Di antara teriakan massa, ada harapan yang sunyi tapi tegas: agar negara hadir sebagai pelindung, bukan penonton.(Rama) 

Post a Comment for "May day, catatan kritis dan refleksi hari buruh 2025 dalam perspektif HWY aktivis HMI Cabang Palembang"