Cimahi, Infodesanasional.id — Dunia pendidikan kembali tercoreng. Di tengah semangat pemerataan akses pendidikan, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kota Cimahi justru dituding membebani siswa dengan pungutan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) sebesar Rp 4 juta dan SPP bulanan Rp 130 ribu. Tragisnya, praktik pungutan yang menyasar siswa baru ini dilakukan secara sistematis melalui komite sekolah, seakan-akan mendapat restu dari Kementerian Agama (Kemenag) Kota Cimahi maupun Provinsi Jawa Barat.
Fakta ini mencuat setelah pengakuan terang-terangan dari pihak komite sekolah saat ditemui awak media di Cimahi Selatan, Rabu (24/07). Komite mengklaim bahwa pungutan ini bukan hanya sah, tapi juga telah dikoordinasikan dengan pihak Kemenag.
“Kami sudah rapat dengan Kemenag kota dan provinsi. DSP dan SPP ini hanya berlaku bagi yang mampu bayar, kalau gak mampu, ya gak usah bayar,” ujar komite dengan santai.
Pernyataan ini mengundang pertanyaan besar: jika pungutan ini sah, mengapa tidak memiliki dasar hukum tertulis? Jika tidak sah, mengapa Kemenag diam?
Lebih lanjut, komite berdalih bahwa dana DSP dan SPP digunakan untuk membiayai pembangunan dan operasional sekolah, karena MAN Cimahi disebut tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Namun ironisnya, di saat yang sama mereka mengakui bahwa sekolah menerima dana BOS sebesar Rp 1 juta per siswa serta bantuan tambahan untuk pemeliharaan.
“Bantuan ada, tapi tidak cukup. Makanya kami harap pemerintah bantu lebih, biar kami tidak pungut DSP lagi,” katanya.
Pernyataan paradoks ini membuka fakta telanjang: lembaga pendidikan negeri yang didanai negara justru mengalihkan beban anggaran ke pundak rakyat kecil.
Rapat Orang Tua Hanya Formalitas, Orang Tua: Kami Tak Pernah Setuju
Salah satu wali murid yang hadir dalam rapat orang tua mengaku terkejut dengan cara pungutan ditetapkan.
“Kami hanya dikumpulkan, diberi tahu bahwa DSP Rp 4 juta. Tidak ada tanya jawab, tidak ada musyawarah. Kami dianggap setuju hanya karena hadir,” ujarnya.
Kondisi ini memperjelas bahwa musyawarah hanya dijadikan tameng formalitas, sementara keputusan sepihak tetap dijalankan. Dalam sistem yang demikian, apa bedanya lembaga negeri dengan lembaga komersil?
Ketua Akpersi Jabar: Ini Bukan Sekolah, Ini Mesin Uang Berkedok Pendidikan
Merespons temuan ini, Ahmad Syarifudin, C.BJ., C.EJ., Ketua DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (Akpersi) Jawa Barat, angkat bicara dengan nada keras.
“Kami menduga kuat ada praktik pungli yang dibiarkan oleh Kemenag. Ini bukan lagi soal transparansi, ini soal komersialisasi pendidikan negeri secara vulgar. MAN Cimahi bukan lagi sekolah, tapi sudah jadi mesin uang berkedok pendidikan,” tegasnya.
Ahmad menyatakan pihaknya akan segera melayangkan surat klarifikasi resmi kepada Kemenag Kota Cimahi dan Provinsi Jabar, serta mempertimbangkan langkah hukum dan pengaduan ke Ombudsman RI jika tidak ada penindakan serius dalam waktu dekat.
Ijazah Tertahan, Komite Akui Ada 30 Alumni Belum Terima Dokumen Resmi
Di sisi lain, saat disinggung mengenai praktik penahanan ijazah yang kerap dikaitkan dengan tunggakan, pihak komite mengakui bahwa sekitar 30 alumni belum mengambil ijazah mereka.
“Kami akan panggil satu per satu. Tahun ini tidak ada penahanan, tapi sebelumnya memang ada ijazah yang belum diambil. Tidak ada pungutan,” kilah komite.
Namun fakta ini justru memperkuat kecurigaan publik bahwa akses terhadap hak dasar siswa pun kini bisa terhalang karena persoalan administrasi keuangan.
Pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun praktik di MAN Kota Cimahi justru menunjukkan bahwa hak ini kini hanya tersedia bagi yang mampu membayar. Alih-alih menjadi tangga mobilitas sosial, pendidikan negeri hari ini berubah menjadi pagar pembatas kelas sosial.
Pertanyaannya: Apakah negara rela menutup mata ketika institusi pendidikan negeri berubah menjadi pasar bebas yang mengorbankan rakyat kecil?
(Ahmad Syarifudin, C.BJ.,C.EJ)
Post a Comment for "Pendidikan Negeri Rasa Swasta: MAN Kota Cimahi Dituding Lakukan Pungutan Liar, Kemenag Diduga Tutup Mata"