*Dari Reformasi 1998 hingga 2025 : Demokrasi Berdarah dan Nyawa Ojol yang Tumbang*

 


Opini *_Oleh: Pirlo Luron_*


Sejarah politik Indonesia selalu bergerak dalam lingkaran darah dan luka. Sejak Reformasi 1998, jalanan menjadi arena utama rakyat bersuara: mahasiswa, buruh, pelajar, hingga rakyat biasa turun menuntut keadilan. Namun, hampir selalu jawaban negara adalah gas air mata, peluru karet, pentungan, dan kendaraan taktis. Dan selalu, ada korban jiwa.

Tahun 1998, darah mahasiswa Trisakti tumpah di Jakarta. Tahun 2019, mahasiswa kembali berguguran di Kendari. Tahun 2020, rakyat kecil jadi korban saat menolak UU Cipta Kerja. Dan kini, 28 Agustus 2025, sejarah mencatat nama baru: Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, tewas di bawah roda kendaraan taktis Brimob.

Affan bukan demonstran, bukan massa aksi, ia hanya pekerja informal yang sedang mencari nafkah. Namun nyawanya direnggut di tengah represi. Satu nyawa yang bagi negara mungkin hanya angka, tapi bagi rakyat adalah simbol betapa rapuhnya demokrasi.

*Luka yang Tak Pernah Sembuh*

Sejarah mencatat pola yang sama:

1998: Empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak. Gelombang kerusuhan merenggut lebih dari 1.000 nyawa.

2019: Dua mahasiswa Kendari Imam Maulana dan Randi mati tertembak aparat saat menolak RUU bermasalah.

2020: Rakyat dipukul mundur saat menolak UU Cipta Kerja. Ratusan luka, beberapa meninggal, ribuan ditangkap.

2025: Seorang ojol, yang bahkan tidak ikut aksi, tewas karena represi negara.

Polanya jelas: setiap krisis politik, rakyat kecil yang membayar dengan nyawa. Elite politik tetap aman di balik pagar tinggi dan kursi empuk.

*Negara yang Gagal Melindungi*

Apa arti negara bila ia tak bisa melindungi rakyat yang paling rentan? Ojol seperti Affan bekerja di ruang publik dengan risiko tinggi, tanpa senjata, tanpa slogan, tanpa menantang aparat. Tetapi ia tewas di tangan institusi yang mengaku menjaga keamanan.

*Tragedi ini menyingkap tiga kenyataan pahit:*

1. Represi Tak Pernah Berhenti

Dari 1998 hingga 2025, wajah aparat tetap sama: represif, brutal, dan anti-rakyat. Kultur kekerasan bukan penyimpangan, tapi tradisi yang dilestarikan.

2. Demokrasi Kita Rapuh

Affan bukan aktivis, tetapi mati di medan politik. Ini bukti: ruang demokrasi begitu rapuh, siapapun bisa jadi korban, bahkan mereka yang hanya melintas.

3. Negara Abai pada Kelas Pekerja

Pengemudi ojol adalah penopang ekonomi kota, bekerja tanpa jaminan sosial, tanpa perlindungan. Kini, bahkan hak paling dasar hak hidup pun gagal dijamin negara.

*Demokrasi yang Layak Dipertanyakan*

Kematian Affan Kurniawan bukanlah kecelakaan. Ia adalah cermin retak demokrasi Indonesia. Apa arti reformasi jika jalanan masih dipenuhi darah rakyat kecil? Apa gunanya konstitusi yang menjamin kebebasan, jika setiap suara selalu dijawab dengan represi?

Elite politik, yang selama ini menikmati hasil reformasi, justru menutup mata. Tak ada tanggung jawab, tak ada akuntabilitas. Semua berlalu dengan dalih klise: “aparat sudah sesuai prosedur.” Prosedur macam apa yang terus mengorbankan rakyat?

*Seruan untuk Bangsa*

Tragedi 1998, 2019, 2020, hingga 2025 adalah deretan luka yang menuntut kesadaran: demokrasi bukan hadiah, melainkan darah yang terus menetes. Setiap korban adalah tanda bahwa reformasi masih jauh dari selesai.

Tiga hal mendesak yang harus diperjuangkan:

1. Pengusutan Tuntas

Impunitas harus diakhiri. Kasus dari 1998 hingga 2025 harus dibuka, aparat yang terlibat harus diadili, keadilan harus ditegakkan.

2. Perlindungan bagi Pekerja Informal

Ojol, buruh, PKL, dan rakyat pekerja lain harus dijamin hak hidupnya. Perlindungan bukan hanya dari kemiskinan, tapi juga dari represi politik.

3. Reformasi Aparat Sesungguhnya

Tanpa reformasi di tubuh aparat keamanan, demokrasi hanya akan jadi sandiwara murahan. Rakyat akan terus menjadi korban.

Affan Kurniawan kini menjadi nama baru dalam daftar panjang korban demokrasi. Ia bukan mahasiswa Trisakti, bukan Randi atau Yusuf, bukan buruh yang menolak UU Cipta Kerja. Ia hanyalah pengemudi ojol yang ingin pulang membawa rezeki untuk keluarga. Tetapi sejarah mencatat: negara gagal melindunginya.

Sejak 1998 hingga 2025, polanya tak berubah. Hanya nama korban yang berganti. Selama impunitas dibiarkan, aparat tak berubah, elite politik menutup mata maka korban berikutnya hanya menunggu giliran.

*Maka pertanyaannya: apa gunanya demokrasi jika nyawa rakyat kecil terus dijadikan tumbal?*

Post a Comment for "*Dari Reformasi 1998 hingga 2025 : Demokrasi Berdarah dan Nyawa Ojol yang Tumbang*"