Kupang, infodesanasional.id-, 19 September 2025, Dalam semangat mendorong festival seni yang berkelanjutan Komunitas Sastra Dusun Flobamora memulai hari pertama Festival Sastra Santarang (FSS) 2025 dengan menghadirkan tiga sesi diskusi dan pemutaran film dokumenter “Daba”.
FSS tahun yang kelima mengusung tema “Sastra dan Bencana” sebagai upaya mengeksplorasi peristiwa-peristiwa aktual dan permasalahan sosial di NTT, terutama terkait kebencanaan demi merawat ingatan dan harapan.
Koordinator Komunitas Sastra Dusun Flobamora RD. Amanche Franck Oe Ninu mengatakan FSS menjadi perayaan literasi bagi sastrawan, peminat dan pemerhati sastra, sekaligus kesempatan merefleksikan kehidupan serta isu-isu yang aktual.
“Tahun ini, Komunitas Sastra Dusun Flobamora mencoba merespon realita bencana alam, mendokumentasikan, dan merefleksikannya ke dalam perayaan festival sastra,” kata dia.
Menurut dia, festival sastra menjadi kesempatan untuk berjumpa dan berdiskusi untuk bisa berjejaring dalam pengembangan seni budaya dan sastra yang berkelanjutan baik di tingkat lokal maupun nasional.
“Semoga melalui diskusi dan karya-karya sastra kita bisa merespon realita yang terjadi dalam kehidupan, termasuk hari ini tentang bencana,” kata dia.
Pada kesempatan sama, Direktur Pengembangan Budaya Digital Direktorat Jenderal Pengembangan Pemanfaatan dan Pembinaan Kementerian Kebudayaan Andi Syamsu Rizal mengapresiasi terselenggaranya FSS 2025 yang turut melibatkan berbagai komunitas dan generasi muda.
Menurutnya, FSS menjadi wadah untuk memperkuat ekosistem budaya digital, memberdayakan komunitas, serta mendorong kolaborasi lintas sektor agar kebudayaan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan akar lokalnya.
Ia juga mengatakan, FSS telah membawa kembali ingatan kolektif masyarakat yang berhadapan dengan bencana siklon tropis Seroja 2021 hingga letusan Gunung Lewotobi Laki-laki.
“Dari berbagai rangkaian peristiwa itu kita belajar tentang rapuhnya peradaban sekaligus menyadari kekuatan manusia untuk bertahan, merenung, dan kemudian bangkit kembali,” jelas dia.
Ia menegaskan, sastra bukan sekadar hadir sebagai seni melainkan ruang untuk menjaga ingatan yang memastikan penderitaan tidak berhenti sebagai catatan statistik saja, tetapi tetap hidup dalam kesadaran kolektif untuk menata masa depan.
“Semoga FSS 2025 menjadi tonggak penting dalam memperkuat jalinan antara sastra, masyarakat, dan budaya digital di NTT dan Indonesia pada umumnya,” kata dia.
Pada hari pertama FSS 2025, dibagi dalam dua acara utama. Pertama, Diskusi Sesi Festival: “Festival Seni Dua Perspektif”.
Kedua, Sesi Bencana Menurut Masyarakat dengan Diskusi 1 “Daba: Ritu Inisiasi Anak Jingitiu di Desa Pedarro, Pulau Sabu” san Diskusi 2 “Tao Leo: Upacara Kematian Masyarakat Jingitiu di Raijua”.
Selain itu, turut dilakukan peluncuran film dokumenter “Daba” karya Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengisahkan ritus inisiasi anak Jingitiu di Desa Pedarro, Pulau Sabu.
( Lusia )
Post a Comment for "Hari Pertama FSS 2025 Dorong Festival Seni yang Berkelanjutan "