GORONTALO, infodesanasional.id, - Rapat Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL / Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup Provinsi Gorontalo, Selasa, mendadak memicu polemik serius.
Sejumlah wartawan yang hendak meliput jalannya pembahasan dokumen lingkungan Adendum ANDAL dan RKL-RPL Tipe A proyek pengolahan dan pemurnian bijih emas PT Pani Bersama Tambang (PBT) diusir oleh petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Gorontalo.
Rapat yang sejatinya menjadi forum transparan itu justru digelar secara tertutup. Petugas DLHK menyampaikan bahwa “hanya tamu undangan yang dapat memasuki ruangan,”.
Meski agenda yang dibahas menyangkut proyek strategis yang berdampak luas bagi masyarakat Kabupaten Pohuwato dan Provinsi Gorontalo.
Padahal, forum tersebut melibatkan banyak unsur masyarakat, pemerhati lingkungan, LSM, Pemerintah Kabupaten Pohuwato, dan unsur Pemerintah Provinsi Gorontalo.
Kondisi ini memicu pertanyaan publik jika pembahasan begitu strategis dan melibatkan banyak pihak,
mengapa media dilarang hadir? Apa yang perlu ditutupi?
Salah satu wartawan, Alim Suma, mengaku dirinya dihalangi masuk bahkan diminta keluar secara tegas oleh petugas DLHK.
“Ini pembahasan menyangkut kepentingan publik, kenapa media justru dilarang masuk? Ada apa? Saya menduga kuat ada informasi yang sengaja ditutupi,” ujar Alim Suma.
Ia menilai langkah DLHK mencederai prinsip keterbukaan dan bahkan berpotensi melanggar hukum, khususnya Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan bahwa siapa pun yang menghambat tugas jurnalistik dapat dikenai pidana.
“Ini preseden buruk bagi kemerdekaan pers di Gorontalo,”tegasnya.
Ketua Mandataris Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Pohuwato, Yopi Y. Latif, turut menyoroti keras tindakan DLHK. Menurutnya, rapat teknis maupun penilaian AMDAL tidak semestinya ditutup, terlebih jika menyangkut Adendum AMDAL untuk kegiatan pertambangan berskala besar.
“AMDAL bukan ruang eksklusif bagi pejabat dan perusahaan. Ia dibangun atas prinsip partisipatif, transparan, dan akuntabel. Mengusir wartawan adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar itu,” ujar Yopi Y. Latif.
Yopi menegaskan, media merupakan jembatan antara proses teknis pemerintah dengan masyarakat. Melarang wartawan hadir berarti, menghambat akses publik terhadap informasi lingkungan.
Yopi menjelaskan bahwa proses Adendum AMDAL diatur dalam:
a. PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan
b. PermenLHK Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Laksana Penilaian dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup.
Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa Adendum AMDAL dilakukan apabila terdapat perubahan signifikan pada:
1. desain atau kapasitas kegiatan;
2. teknologi atau proses produksi;
3. lokasi proyek;
4. munculnya dampak baru yang belum tercakup dalam AMDAL awal.
Lebih penting lagi, setiap proses Adendum wajib menjamin akses masyarakat terhadap informasi, serta membuka ruang keterlibatan publik sebagai bagian dari prinsip good environmental governance.
“Ketika Adendum dilakukan, transparansi justru harus diperkuat, bukan dilemahkan. Pers memiliki hak untuk mengetahui dan masyarakat memiliki hak untuk dipaparkan informasi,” jelas Yopi.
Menurut Yopi, tindakan DLHK justru memperbesar kecurigaan di tengah panasnya isu pertambangan di wilayah Pani.
“Pengusiran wartawan hanya mempertebal dugaan publik bahwa ada dinamika atau informasi sensitif yang ingin disembunyikan. Situasi seperti ini rawan menurunkan kepercayaan publik terhadap proses AMDAL,” katanya.
Lanjut Yopi, akan meninjau langkah-langkah resmi termasuk melayangkan surat keberatan kepada DLHK dan Komisi Penilai AMDAL Provinsi Gorontalo.
Hingga berita ini diterbitkan, penjelasan resmi dari DLHK masih terbatas pada alasan bahwa peserta rapat hanya tamu undangan.
Namun alasan tersebut dinilai lemah mengingat pembahasan menyangkut proyek yang berdampak pada ribuan masyarakat Pohuwato.
(Tim)

Post a Comment for "Rapat Tim Teknis AMDAL Gorontalo Usir Wartawan, AKPERSI : Melanggar Prinsip Transparansi dan Aturan Adendum"