Bekasi, Infodesanasional.id — Ketika seorang pasien datang dalam kondisi darurat, tak ada pilihan bagi rumah sakit selain menyelamatkan. Namun tidak demikian halnya dengan yang dialami Aan (31), warga Kampung Rumbia RT 04/02, Desa Karangreja, Kecamatan Pebayuran. Perempuan penderita kanker serviks ini datang ke RS DKH Sukatani dengan tubuh lemah dan kondisi gawat. Ia adalah peserta aktif BPJS Kesehatan, namun yang diterimanya bukan pertolongan, melainkan tagihan dan alasan birokrasi.
Aan tiba di RS DKH Sukatani, beralamat di Jl. Raya Sukatani No.9, sekitar pukul 09.00 WIB. Namun, menurut keterangan keluarga, penanganan medis hanya sebatas pemasangan infus dan selang urine. Tidak ada tindakan lanjutan. Pihak rumah sakit berdalih dokter spesialis tidak tersedia dan justru menyodorkan tagihan sebesar Rp 564.000.
“Kami datang minta pertolongan, bukan perhitungan. Ini nyawa saudara kami, bukan angka di kasir rumah sakit,” tegas pihak keluarga dengan suara getir.
Karena kecewa, keluarga memutuskan membawa Aan ke RS Kanker Dharmais di Jakarta Barat pada pukul 17.00 WIB hari yang sama. Di sana, Aan langsung mendapatkan penanganan medis yang semestinya.
Menanggapi pemberitaan yang viral, Ketua DPD Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Jawa Barat, Ahmad Syarifudin, C.BJ., C.EJ., mencoba mengonfirmasi ke pihak RS DKH. Melalui pesan WhatsApp, Ningsih, bagian marketing rumah sakit, menyampaikan bahwa perpindahan pasien ke rumah sakit lain dalam waktu kurang dari 24 jam bisa menyebabkan klaim BPJS “beririsan”, alias tumpang tindih pembayaran.
“Kalau ke Dharmais dalam waktu kurang dari 24 jam sejak dari RS DKH, itu bisa beririsan secara klaim,” tulis Ningsih.
Ketua AKPERSI Jabar menilai pernyataan pihak rumah sakit justru membuka borok serius dalam sistem pelayanan kesehatan. Ia menegaskan bahwa penanganan pasien darurat tidak boleh ditunda dengan alasan administratif, termasuk soal klaim BPJS.
“Kalau rumah sakit lebih takut klaim beririsan daripada kehilangan nyawa pasien, maka itu bukan rumah sakit, itu institusi dagang yang menyamar,” tegas Ahmad dengan nada keras.
Ia juga mengingatkan bahwa Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dan regulasi BPJS secara jelas menyatakan bahwa pasien dalam kondisi gawat darurat harus ditangani secepatnya, tanpa menanyakan biaya atau status dokumen rujukan.
'“Pemasangan infus tanpa tindakan penyelamatan bukan penanganan, itu sekadar alibi. Jangan bungkus kelalaian dengan alasan prosedur!”
Melihat besarnya potensi pelanggaran etik dan hukum, AKPERSI Jawa Barat menyatakan akan mengirimkan surat resmi kepada Komisi IV DPRD Kabupaten Bekasi, serta meminta klarifikasi dari BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi.
“Kami ingin sidang terbuka. Jangan lagi ada rakyat kecil yang datang ke rumah sakit dengan harapan hidup, lalu pulang dengan kekecewaan,” tegas Ahmad.
Ia menegaskan, jika tak ada tindakan tegas, maka kasus serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk terulang kembali, dan korban berikutnya bisa jadi siapa saja.
Tragedi yang dialami Aan adalah potret retaknya sistem pelayanan publik. Bukan hanya soal kesalahan prosedur, tapi soal hilangnya empati, hati nurani, dan rasa tanggung jawab lembaga terhadap nyawa manusia.
Hingga berita ini diturunkan, manajemen RS DKH Sukatani belum memberikan klarifikasi resmi di luar pernyataan via pesan WhatsApp.
Post a Comment for "Datang Untuk Diselamatkan, Pulang dengan Kekecewaan: Nasib Pasien BPJS di RS DKH Sukatani""