Ketua DPC AKPERSI Muba Soroti Praktik Klarifikasi Antar Media: “Melanggar Etika Jurnalistik dan Hukum Pers”


MUSI BANYUASIN, – Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) AKPERSI Warto, C. BJ, C. EJ. C.Par, menyoroti fenomena maraknya praktik media saling mengoreksi atau menyanggah pemberitaan satu sama lain secara terbuka melalui kanal berita mereka sendiri. Menurutnya, praktik tersebut bukan hanya menyalahi etika jurnalistik, tetapi juga berpotensi melanggar ketentuan hukum pers di Indonesia.

“Dalam sistem hukum pers Indonesia, hak jawab dan hak koreksi hanya diberikan kepada pihak yang dirugikan oleh suatu pemberitaan. Media lain yang tidak menjadi objek pemberitaan tidak memiliki hak untuk menyanggah atau mengoreksi berita tersebut secara terbuka, kecuali melalui mekanisme pengaduan resmi,” tegas Warto dalam rilis tertulisnya, Rabu (10/9/2025).

Klarifikasi Antar Media: Tidak Dibenarkan

Warto menekankan bahwa hak jawab telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyebutkan hak jawab adalah hak individu atau badan hukum yang merasa dirugikan secara langsung oleh pemberitaan. Dengan demikian, media tidak dapat bertindak sebagai pihak ketiga untuk menyanggah berita media lain.

“Praktik klarifikasi antar media tanpa mekanisme sah berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar institusi pers, merusak kepercayaan publik, dan memperkeruh iklim jurnalistik yang sehat,” ujarnya.

Landasan Hukum dan Etika

Warto menegaskan sejumlah regulasi yang mengikat praktik jurnalistik, antara lain:

1. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 1 angka 11: Hak jawab hanya berlaku bagi pihak yang dirugikan. Pasal 5 ayat (2): Pers wajib melayani hak jawab secara proporsional.

2. Peraturan Dewan Pers No. 9/Peraturan-DP/X/2008 tentang Pedoman Hak Jawab

Menyatakan hak jawab hanya bisa diajukan pihak yang dirugikan secara langsung, bukan oleh media lain.

3. Kode Etik Jurnalistik (SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006), Pasal 10, Wartawan wajib mencabut, meralat, atau memperbaiki berita keliru. Etika ini berlaku hanya bagi media yang memuat berita tersebut, bukan media lain.

Implikasi Hukum dan Profesional

Warto menjelaskan, jika suatu media merasa pemberitaan media lain merugikan reputasinya, langkah yang sah adalah:

Mengajukan hak jawab secara tertulis kepada redaksi media bersangkutan.

Jika tidak dilayani, mengajukan pengaduan resmi ke Dewan Pers.

“Media tidak diperkenankan membuat berita tandingan atau klarifikasi sepihak yang menyerang kredibilitas media lain,” tegasnya.

Sanksi dan Tanggung Jawab

Menurut Warto,pelanggaran atas ketentuan ini dapat berujung pada sanksi etik Dewan Pers, mulai dari rekomendasi pencabutan berita, permintaan maaf terbuka, hingga pencabutan sertifikasi perusahaan pers.

Untuk menjaga marwah jurnalistik, lanjutnya, setiap media harus menjunjung tinggi independensi, integritas, dan saling menghormati antar sesama pers.

“Klarifikasi atau sanggahan terhadap pemberitaan media lain tanpa mekanisme resmi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip dasar jurnalistik: akurasi, keadilan, dan tanggung jawab,” pungkas Warto 

( TIM )

Post a Comment for "Ketua DPC AKPERSI Muba Soroti Praktik Klarifikasi Antar Media: “Melanggar Etika Jurnalistik dan Hukum Pers”"