JAKARTA, Infodesanasional.id - Banjir besar yang kembali menenggelamkan berbagai wilayah di Pulau Sumatra dinilai bukan semata-mata sebagai fenomena alam. Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWOD) menegaskan bahwa bencana tersebut merupakan akumulasi pembiaran sistematis pembabatan hutan sejak tahun 2000, serta gagalnya tata kelola dana penanggulangan bencana yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
Ketua Umum DPP PWOD, Feri Rusdiono, SH, menyebut kondisi Sumatra saat ini sebagai dampak kebijakan yang mengorbankan kelestarian hutan demi kepentingan ekonomi segelintir pihak. Menurutnya, negara terlalu lama membiarkan eksploitasi hutan berlangsung tanpa pengawasan yang tegas, sementara masyarakat harus menanggung akibatnya dalam bentuk banjir yang berulang setiap tahun.
“Ini bukan bencana alam, melainkan kejahatan ekologis. Hutan dihancurkan, izin ditebar tanpa kendali, dana bencana menguap, lalu rakyat dipaksa bersabar menghadapi banjir,” tegas Feri Rusdiono dalam pernyataan sikapnya.
PWOD mencatat, dalam dua dekade terakhir, jutaan hektare hutan di Sumatra hilang akibat ekspansi perkebunan, pertambangan, serta pembalakan liar. Dampak dari kerusakan tersebut sangat nyata, mulai dari hilangnya daerah resapan air, meluapnya sungai, meningkatnya tanah longsor, hingga ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal setiap musim hujan.
Di sisi lain, anggaran penanggulangan bencana yang setiap tahun mencapai triliunan rupiah dinilai belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat terdampak. Bantuan kerap terlambat, jumlahnya terbatas, serta distribusinya dinilai tidak transparan. PWOD menilai kondisi ini sebagai indikasi lemahnya tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.
“Dana bencana itu bersumber dari uang rakyat. Ketika rakyat kebanjiran dan kehilangan mata pencaharian, publik berhak mengetahui ke mana anggaran tersebut digunakan,” ujar Feri.
PWOD menilai pemerintah selama ini lebih berfokus pada penanganan darurat pascabencana, sementara upaya pencegahan melalui perlindungan hutan dan penertiban izin bermasalah belum menjadi prioritas utama. Tanpa langkah tegas menghentikan deforestasi, banjir dipastikan akan terus menjadi agenda tahunan yang menelan korban jiwa dan kerugian besar.
Dalam sikap resminya, PWOD mendorong Pemerintah Pusat di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk tidak sekadar hadir saat bencana, melainkan berani mengambil langkah strategis menyentuh akar persoalan. PWOD mendesak dilakukannya audit nasional terhadap seluruh izin kehutanan dan perkebunan di Sumatra sejak tahun 2000, serta pencabutan izin yang terbukti merusak lingkungan.
Selain itu, PWOD menuntut transparansi penuh penggunaan dana penanggulangan bencana secara terbuka dan real-time, guna mencegah potensi penyalahgunaan anggaran di tengah penderitaan rakyat.
PWOD juga mengusulkan pembentukan Satuan Tugas Nasional Anti-Kejahatan Lingkungan di bawah kendali langsung Presiden, dengan kewenangan penuh untuk menindak mafia kayu, aktor intelektual perusakan lingkungan, serta pihak-pihak yang selama ini dinilai kebal hukum.
“Negara tidak boleh kalah oleh mafia kayu dan pemodal rakus. Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka bencana akan terus berulang,” tegas Feri.
PWOD menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu lingkungan secara kritis dan independen. Menurut PWOD, pembiaran terhadap perusakan hutan sama artinya dengan membiarkan kejahatan terhadap rakyat dan masa depan generasi bangsa.
“Sumatra hari ini adalah peringatan keras. Jika negara tidak bertindak tegas sekarang, maka banjir, longsor, dan kehancuran ekologis akan menjadi warisan paling memalukan bagi generasi mendatang,” pungkas Feri Rusdiono.

Post a Comment for "PWOD Bongkar Akar Banjir Sumatra: Hutan Dihabisi Sejak 2000, Dana Bencana Triliunan Rupiah Raib, Rakyat Jadi Korban"